Judul Novel :
CRTITICAL ELEVEN
Penulis : IKA NATASSA
Penerbit : PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA
Tahun Terbit :
2015
Tebal Buku : 344
halaman
Sinopsis:
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling
kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum
landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya
terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most
vulnerable to any danger. In a way, it's kinda the same with meeting people.
Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk,
lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak
tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi
awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan. Ale dan Anya pertama kali
bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat,
tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat
percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia
menginginkan Anya. Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya
dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan
pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling
penting dalam pertemuan pertama mereka. Diceritakan bergantian dari sudut
pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita
jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
Resensi:
Pertama kali muncul sebagai cerita pendek dalam buku kumpulan cerpen metropop
berjudul Autumn Once More, Critical Eleven yang ditulis Ika Natassa sudah
membuat banyak pembaca jatuh hati sekaligus penasaran. Dalam cerpen tersebut,
dikisahkan seorang wanita tengah berada dalam sebuah perjalanan dengan pesawat
terbang, sedang mengenang awal pertemuannya dengan seorang lelaki yang kelak
menjadi kekasihnya. Namun sungguh disayangkan, perkenalan manis tersebut hanya
tinggal kenangan, karena keduanya kini telah menjadi orang asing satu sama
lain. Cerpen hanya berakhir di situ saja. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan
mereka tak lagi saling cinta? Dalam novel inilah, Ika Natassa menjawab
pertanyaan tersebut. “Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven,
sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan
delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen
kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu.” Ika
Natassa kemudian mengaitkannya dengan pertemuan antarmanusia. Tiga menit
pertama adalah saat paling menentukan, sebab saat itulah pertama kali kesan
terhadap seseorang terbentuk. Sedangkan delapan menit sebelum berpisah, ada
saat di mana kita memutuskan apakah pertemuan tersebut akan berlanjut ke arah
yang lebih baik, atau sebaliknya, menjadi sebuah perpisahan yang dinanti-nanti.
Tanya Baskoro (Anya) dan Aldebaran Risjad (Ale) bertemu dalam pesawat. Sebelas
menit paling kritis dari pertemuan tersebut rupanya membawa kesan yang dalam
bagi keduanya, terutama bagi Ale. Namun butuh waktu satu bulan sebelum Ale
akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk menghubungi Anya kembali. Long
story short, mereka jadian. Setelah setahun berpacaran, keduanya sepakat bahwa
mereka adalah belahan jiwa satu sama lain. Mereka pun menikah, walau tak dapat
selalu bersama sepanjang waktu. Pekerjaan Ale sebagai petroleum engineer
memaksanya tinggal jauh dari Anya. Sementara Anya tetap menjalankan profesinya
sebagai management consultant di Jakarta. Untungnya Ale miliki waktu 5/5, yakni
lima minggu bekerja di rig (persisnya, di Teluk Meksiko), dan lima minggu
libur—yang selalu dihabiskannya di Jakarta bersama Anya. Walau tak selalu
bersama, hubungan pernikahan mereka tetap harmonis. Hingga kemudian tragedi itu
terjadi—sebuah tragedi memilukan yang menjadi mimpi buruk pasangan suami istri
manapun. Pada akhirnya, meski masih berstatus suami istri dan tinggal seatap,
sebuah jarak telah tercipta di antara mereka, walau dalam lubuk hati
masing-masing, keduanya sesungguhnya masih saling mencintai. Mungkinkah mereka
dapat mempertahankan pernikahan? Atau justru harus mengakhirinya? Pertama kali
mendengar kabar bahwa Critical Eleven akan dijadikan novel, saya sangat
bergairah dan tak sabar untuk segera membacanya. Sayang, setelah berbulan-bulan
menanti, saya tidak kebagian jatah PO. Saking banyaknya pembaca yang penasaran
dan memesan melalui jalur PO di toko-toko buku online, buku ini langsung ludes
sebanyak 1.111 eksemplar hanya dalam 11 menit. Bayangkan! Saya Cuma bisa pasrah
dan bersabar menunggu cetakan berikutnya beredar di toko buku di kota tempat
saya tinggal. Sebagai pembaca karya-karya Ika Natassa, saya harus mengkui bahwa
Critical Eleven adalah novelnya yang memiliki konflik paling menyesakkan dada.
Berulang kali saya dibuat nyaris meneteskan air mata (oke, hapus bagian
“nyaris”-nya) saat menyaksikan para tokohnya dipaksa bergelut dengan rasa
kehilangan. Dalam novel ini, Ika kembali ‘memerankan’ dirinya dalam
multikarakter seperti yang pernah sukses dilakukannya dalam Antologi Rasa.
Namun dalam Critical Eleven, karakter yang diperankannya cukup dua tokoh saja,
yaitu Anya dan Ale. Ya, novel ini diceritakan melalui dua sudut pandang tokoh
tersebut, dan Ika sekali lagi berhasil melakukannya dengan baik. Tokoh Anya dan
Ale terasa benar-benar nyata. Pembaca, setidaknya saya, sungguh dapat merasakan
emosi yang kuat dari dua tokoh ini. Anya benar-benar terlihat berusaha untuk
tegar walau sebenarnya rapuh. Sementara Ale, terlihat jelas bahwa ia sangat
mencintai Anya dan rela berkorban perasaan demi sekadar mendapatkan seulas
senyum tipis dari istrinya itu. Untuk urusan teknik bercerita, kepiawaian
penulis tak perlu diragukan lagi. Selain menggunakan dua sudut pandang, cerita
dalam novel ini diperkuat melalui alur yang tak biasa, yakni alur maju dan
mundur. Penggunaan alur campuran ini cukup sukses membuat emosi saya jungkir
balik. Penulis memang tak langsung memaparkan penyebab renggangnya hubungan
Anya dan Ale, melainkan terlebih dahulu membangun rasa penasaran pembaca
melalui gambaran situasi pernikahan mereka di masa kini, diselingi berbagai
kisah masa lalu yang manis dan mengundang senyum. Hingga kemudian masalah yang
sebenarnya diungkap, saya benar-benar tak mampu lagi membendung air mata. Meski
saya tak pernah mengalaminya sendiri (amit-amit), saya memiliki kerabat yang
pernah mengalami tragedi yang sama persis dengan yang dialami Anya dan Ale. Ya
Tuhan. T.T Sebuah pernikahan memang membutuhkan komitmen yang kuat dan rasa
saling percaya di antara kedua belah pihak, termasuk rasa saling percaya saat
tengah mengalami masa-masa sulit. Dalam kasus Anya dan Ale, keduanya memilih
untuk menanggung rasa kehilangan mereka sendiri-sendiri, dan itu malah
memperparah hubungan pernikahan mereka. Barangkali ini pesan moral yang coba
disampaikan oleh penulis. Saya agak kesulitan bila ditanya bagian dari novel
ini yang menjadi favorit, sebab banyak sekali adegan yang sangat berkesan.
Misalnya monolog Ale dan Anya yang seolah mengajak pembaca untuk merenung. Ciri
khas Ika Natassa terlihat jelas di sini. Awalnya beliau (melalui tokoh Anya dan
Ale), membeberkan fakta-fakta menarik seputar banyak hal (budaya pop dan
pengetahuan umum), sebelum membahas masalah yang sesungguhnya. Lumayan
nambah-nambah pengetahuan dengan cara yang fun dan tak membosankan. Hehe.
Adegan-adegan yang melibatkan interaksi Ale dan keluarganya lumayan menjadi
bagian favorit saya. Saya menyukai cara penulis menggambarkan hubungan antara
Ale dan ayahnya, yang meski awalnya kurang harmonis, namun pada akhirnya terlihat
sekali bahwa ayah sangat menyayangi Ale, dan sebaliknya, Ale sangat menghormati
ayah. Hubungan antara Ale dan Harris sebagai kakak-adik pun cukup ampuh menjadi
pencerah dalam novel yang bernuansa sendu ini (iya, Harris di Antologi Rasa
itu). Ada satu adegan dramatis yang membuat jantung saya berpacu, yaitu ketika
Ale berulang tahun. Harris meminta Anya bekerjasama untuk mengerjai Ale
(omong-omong, Harris dan keluarga besarnya tak tahu-menahu mengenai
permasalahan yang dialami Ale dan Anya, sebab keduanya menutupinya dengan
rapat). Sesuai skenario yang dirancang Harris, Anya meninggalkan pesan pada Ale
bahwa ia akan pergi dari hidup Ale. Ale, yang sedang mati-matian berusaha
memperbaiki hubungannya dengan Anya, tentu saja kalang kabut. Ditambah lagi,
kemungkinan besar Anya akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur betulan.
Saat membaca bagian ini, saya seolah menjadi Ale. Saya benar-benar dibuat
semaput dan bertanya-tanya: apakah Anya sungguh-sungguh pergi? Secara
keseluruhan, saya sangat menikmati bergalau-ria bersama Critical Eleven.
Tadinya saya sempat merasa kalau buku ini kurang ‘nendang’. Barangkali karena
saya membandingkannya dengan karya-karya Ika Natassa sebelumnnya, yang
bernuansa fun, witty, dan jauh dari kesan kelam. Tapi bila ditilik lebih lanjut,
kurang nendang apa coba novel ini? Konfliknya begitu dalam (seperti yang saya
harapkan cerita-cerita fiksi), sampai-sampai saya butuh asupan tisu untuk
menjaga agar mata tetap kering.